BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sumber daya adalah sesuatu yang memiliki nilai guna.
Sumberdaya alam adalah keseluruhan faktor fisik, kimia, biologi dan sosial yang
membentuk lingkungan sekitar kita. Hunker (1964 dalam Cutter, dkk, 2004)
menyatakan bahwa sumber daya alam adalah semua yang berasal dari bumi, biosfer,
dan atmosfer, yang keberadaannya tergantung pada aktivitas manusia. Semua
bagian lingkungan alam kita (biji-bijian, pepohonan, tanah, air, udara,
matahari, sungai) adalah sumber daya alam. Bagaimana keberadaan sumberdaya alam
tersebut sangat tergantung pada pilihan-pilihan bentuk pengelolaan yang
dilakukan oleh umat manusia. Biji, benih, pohon, air, udara, matahari, sungai,
dikatakan sumberdaya ketika kita mengetahui nilai gunanya.
konservasi sumber daya alam adalah penggunaan
sumberdaya alam untuk kebaikan secara optimal, dalam jumlah yang terbanyak dan
untuk jangka waktu yang paling lama. Konservasi sumberdaya alam bukanlah
memelihara persediaan secara permanen, tanpa pengurangan dan perusakan (tingkat
penggunaan nol), namun diartikan sebagai pengurangan atau peniadaan penggunaan
karena lebih mengutamakan bentuk penggunaan lain dalam hal sumberdaya alam itu
memiliki penggunaan yang bermacam-macam.
Hutan
merupakan salah satu sumberdaya yang bersifat dapat dipulihkan (renewable atau
funding resource). Oleh karena itu pengelolaannya harus berdasarkan pada
prinsip-prinsip sustainable (sustainable – based principle) dari semua manfaat
yang bisa diperoleh dari hutan sebagai sumberdaya sekaligus sebagai ekosistem.
Konservasi diartikan sebagai upaya pengelolaan
sumber daya alam secara bijaksana dengan berpedoman pada asas pelestarian.
Sumber daya alam adalah unsur-unsur hayati yang terdiri dari sumber daya alam
nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) dengan unsur non hayati
di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem (Kehati, 2000).
1.2 Rumusan
Masalah
Berikut adalah
rumusan masalah di dalam makalah ini:
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, tujuan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui
apa itu sumber daya alam
2. Mengetahui
klasifikasi sumber daya alam
3. Mengetahui
Pertanian dan kehutanan
4. Mengetahui
Akuakultur
5. Mengetahui
Desalinasi dan perubahan cuaca
6. Mengetahui
Penggunaan lahan
7. Mengetahui
Konservasi SDA
8. Mengetahui
cara konservasi SDA
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sumber Daya Alam (SDA)
2.2 Pertanian Dan
Kehutanan
2.2.1 Bidang Pertanian
Pertanian organik yang semakin berkembang belakangan ini menunjukkan adanya kesadaran petani dan berbagai pihak yang bergelut dalam sektor pertanian akan pentingnya kesehatan dan keberlanjutan lingkungan. Revolusi hijau dengan input bahan kimia memberi bukti bahwa lingkungan pertanian menjadi hancur dan tidak lestari. Pertanian organik kemudian dipercaya menjadi salah satu solusi alternatifnya. Pengembangan pertanian organik secara teknis harus disesuaikan dengan prinsip dasar lokalitas. Artinya pengembangan pertanian organik harus disesuaikan dengan daya adaptasi tumbuh tanaman/binatang terhadap kondisi lahan, pengetahuan lokal teknis perawatannya, sumber daya pendukung, manfaat sosial tanaman/ binatang bagi komunitas.
Pertanian organik yang semakin berkembang belakangan ini menunjukkan adanya kesadaran petani dan berbagai pihak yang bergelut dalam sektor pertanian akan pentingnya kesehatan dan keberlanjutan lingkungan. Revolusi hijau dengan input bahan kimia memberi bukti bahwa lingkungan pertanian menjadi hancur dan tidak lestari. Pertanian organik kemudian dipercaya menjadi salah satu solusi alternatifnya. Pengembangan pertanian organik secara teknis harus disesuaikan dengan prinsip dasar lokalitas. Artinya pengembangan pertanian organik harus disesuaikan dengan daya adaptasi tumbuh tanaman/binatang terhadap kondisi lahan, pengetahuan lokal teknis perawatannya, sumber daya pendukung, manfaat sosial tanaman/ binatang bagi komunitas.
Pertanian
organik memandang alam secara menyeluruh, komponennya saling bergantung dan
menghidupi, dan manusia adalah bagian di dalamnya. Prinsip ekologi dalam
pertanian organik didasarkan pada hubungan antara organisme dengan alam
sekitarnya dan antarorganisme itu sendiri secara seimbang. Pola hubungan antara
organisme dan alamnya dipandang sebagai satu – kesatuan yang tidak terpisahkan,
sekaligus sebagai pedoman atau hukum dasar dalam pengelolaan alam, termasuk
pertanian.
Dalam
pelaksanaannya, sistem pertanian organik sangat memperhatikan kondisi
lingkungan dengan mengembangkan metode budi daya dan pengolahan berwawasan lingkungan
yang berkelanjutan. Sistem pertanian organik diterapkan berdasarkan atas
interaksi tanah, tanaman, hewan, manusia, mikroorganisme, ekosistem, dan
lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan dan keanekaragaman hayati. Sistem
ini secara langsung diarahkan pada usaha meningkatkan proses daur ulang alami
daripada usaha merusak ekosistem pertanian (agroekosistem).
Pertanian
organik banyak memberikan kontribusi pada perlindungan lingkungan dan masa
depan kehidupan manusia. Pertanian organik juga menjamin keberlanjutan bagi
agroekosistem dan kehidupan petani sebagai pelaku pertanian. Sumber daya lokal
dipergunakan sedemikian rupa sehingga unsur hara, bimassa, dan energi bisa
ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran.
Pemanfaatan
bahan-bahan alami lokal di sekitar lokasi pertanian seperti limbah produk
pertanian sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik seperti kompos sangat
efektif mereduksi penggunaan pupuk kimia sintetis yang jelas-jelas tidak ramah
lingkungan. Demikian juga dengan pemanfaatan bahan alami seperti tanaman obat
yang ada untuk dibuat racun hama akan mengurangi penggunaan bahan pencemar
bahaya yang diakibatkan pestisida, fungisida, dan insektisida kimia.
Penggunaan
mikroorganisme pada pembuatan pupuk organik, selain meningkatkan efisiensi
penggunaan pupuk, juga akan mengurangi dampak pencemaran air tanah dan
lingkungan yang timbul akibat pemakaian pupuk kimia berlebihan. Di samping itu,
banyak mikroorganisme di alam yang memiliki kemampuan mereduksi dan
mendegradasi bahan-bahan kimia berbahaya yang diakibatkan pencemaran dari bahan
racun yang digunakan dalam aktivitas pertanian konvensional seperti racun
serangga dan hama.
Dengan
kemajuan teknologi, pertanian organik adalah pertanian ramah lingkungan yang
murah dan berteknologi sederhana (tepat guna) dan dapat dijangkau semua petani
di Indonesia. Serangga hama dan musuh alami merupakan bagian keanekaragaman
hayati. Serangga hama memiliki kemampuan berbiak yang tinggi untuk mengimbangi
tingkat kematian yang tinggi di alam. Keseimbangan alami antara serangga hama
dan musuh alami sering dikacaukan penggunaan insektisida kimia yang hanya satu
macam.
Pertanian
organik bukan hanya baik bagi kesehatan, tetapi juga bagi lingkungan bumi.
Beberapa ahli pertanian Amerika Serikat yakin pertanian organik merupakan cara
baru mengurangi gas-gas rumah kaca yang menyumbang pemanasan global. Laurie
Drinkwater, ahli manajemen tanah dan ekologi Rodale Institute di Kutztown,
Pennsylvania, AS bersama koleganya membandingkan pertanian organik dengan metode
sebelumnya yang menggunakan pupuk kimia selama 15 tahun. Hasilnya
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature (Desember 1998) jika pupuk organik
digunakan dalam kawasan pertanian kedelai utama di AS, setiap tahun, karbon
dioksida di atmosfer dapat berkurang 1-2%.
Drinkwater
mengatakan, pengurangan ini merupakan kontribusi yang sangat berarti. Selain
itu negara-negara industri sepakat dalam pertemuan Bumi di Kyoto Jepang untuk
mengurangi emisi karbondioksida sampai 5,2% dari tahun 1990 hingga tahun 2008-2012.
Dalam penelitian ini juga ditemukan, pertanian organik menggunakan energi 50%
lebih kecil dibandingkan dengan metode pertanian konvensional.
Demikianlah,
fakta mengungkapkan bahwa sistem pertanian organik adalah pertanian yang ramah
lingkungan. Artinya, pelaku sistem pertanian organik telah berusaha tidak
merusak dan menganggu keberlanjutan komponen-komponen lingkungan yang terdiri
atas tanah, air, udara, tanaman, binatang, mikroorganisme, dan tentunya
manusia.
2.2.2
Bidang Kehutanan
Hutan merupakan salah satu sumberdaya yang bersifat dapat dipulihkan (renewable atau funding resource). Oleh karena itu pengelolaannya harus berdasarkan pada prinsip-prinsip sustainable (sustainable – based principle) dari semua manfaat yang bisa diperoleh dari hutan sebagai sumberdaya sekaligus sebagai ekosistem.
Hutan merupakan salah satu sumberdaya yang bersifat dapat dipulihkan (renewable atau funding resource). Oleh karena itu pengelolaannya harus berdasarkan pada prinsip-prinsip sustainable (sustainable – based principle) dari semua manfaat yang bisa diperoleh dari hutan sebagai sumberdaya sekaligus sebagai ekosistem.
Berhubung
di alam ini antara ekosistem yang satu berinteraksi dengan ekosistem yang lain,
maka konteks pengelolaan hutan harus berdasarkan pada anggapan bahwa hutan
merupakan salah satu bagian integral dari ekosistem yang lebih besar dimana
hutan tersebut berada, yaitu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satu
kesatuan bentang darat.
Dalam
rangka mencapai azas kelestarian (sustainable), laju ekstraksi sumbedaya hutan
tidak boleh melebihi laju daya pemulihan dari ekosistem hutan tersebut.
Dalam konteks penebangan kayu, besar volume kayu yang ditebang tidak boleh
melebihi riap volume tegakan hutan, sedangkan dalam konteks pemanfaatan secara
umum, pemanfaatan hutan sebagai ekosistem tidak boleh melebihi daya dukung
maksimum dari ekosistem tersebut.
Secara
ideal, derajat pemanfaatan hutan harus diupayakan pada tingkat daya dukung
optimalnya atau paling tinggi berada pada kisaran nilai antara daya dukung
optimal dengan daya dukung maksimumnya. Hal ini dimaksudkan agar
pemanfaatan hutan tidak menimbulkan derajat gangguan lingkungan yang melebihi
daya asimilatif dari ekosistem hutan tersebut.
Hutan dapat menghasilkan berbagai macam barang (kayu dan hasil hutan bukan kayu) dan jasa lingkungan (air, oksigen, keindahan alam, penyerap berbagai polutan, dan lain-lain), sehingga hutan bersifat multimanfaat. Sehubungan dengan ini pengelolaan hutan seyogyanya tidak boleh memaksimumkan perolehan dari satu macam manfaat saja (misal kayu) dengan mengorbankan manfaat-manfaat lainnya, karena berbagai macam manfaat hutan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Hutan dapat secara berkelanjutan memberikan manfaatnya bila proses ekologis internal dalam ekosistem hutan tersebut tidak terganggu atau terganggu tetapi tidak menimbulkan stress ekologis yang bersifat irreversible. Oleh karenanya, ekosistem hutan harus dibuat tahan terhadap gangguan dengan cara mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan yang tetap tinggi. Dengan demikian, pengelolaan hutan harus dilakukan secara tepat agar ragam dan derajat pemanfaatan hutan, yang tidak lain adalah berupa “tindakan gangguan” terhadap hutan, harus dilakukan sedemikian rupa agar tidak melampaui daya recovery dari ekosistem hutan yang bersangkutan sebagai respons terhadap gangguan tersebut (Heinz Frick, Bambang Suskiyanto.2006).
Hutan dapat menghasilkan berbagai macam barang (kayu dan hasil hutan bukan kayu) dan jasa lingkungan (air, oksigen, keindahan alam, penyerap berbagai polutan, dan lain-lain), sehingga hutan bersifat multimanfaat. Sehubungan dengan ini pengelolaan hutan seyogyanya tidak boleh memaksimumkan perolehan dari satu macam manfaat saja (misal kayu) dengan mengorbankan manfaat-manfaat lainnya, karena berbagai macam manfaat hutan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Hutan dapat secara berkelanjutan memberikan manfaatnya bila proses ekologis internal dalam ekosistem hutan tersebut tidak terganggu atau terganggu tetapi tidak menimbulkan stress ekologis yang bersifat irreversible. Oleh karenanya, ekosistem hutan harus dibuat tahan terhadap gangguan dengan cara mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan yang tetap tinggi. Dengan demikian, pengelolaan hutan harus dilakukan secara tepat agar ragam dan derajat pemanfaatan hutan, yang tidak lain adalah berupa “tindakan gangguan” terhadap hutan, harus dilakukan sedemikian rupa agar tidak melampaui daya recovery dari ekosistem hutan yang bersangkutan sebagai respons terhadap gangguan tersebut (Heinz Frick, Bambang Suskiyanto.2006).
2.3 Akuakultur
2.4 Desalinasi Dan
Perubahan Cuaca
2.4 1 Pengertian Desalinasi
Desalinasi merupakan teknologi penyulingan
air laut untuk menghilangkan kadar garam berlebih pada air sehingga
menghasilkan air tawar yang dapat dikonsumsi dengan hasil produksi tinggi
tetapi menggunakan energi yang murah dan ramah lingkungan (Direktorat
Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil, 2013).
Menurut Bani, Tony dalam academia.edu,
desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi kandungan
garam terlarut dari air garam hingga level tertentu sehingga air dapat
digunakan. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa
air garam (misalnya air laut), produk bersalinitas rendah, dan konsentrat
bersalinitas tinggi. Produk proses desalinasi umumnya merupakan air dengan
kandungan garam terlarut kurang dari 500 mg/l, yang dapat digunakan untuk
keperluan domestik, industri, dan pertanian. Hasil sampingan dari proses
desalinasi adalah brine, yaitu
larutan garam berkonsentrasi tinggi (lebih dari 35.000mg/l garam terlarut).
Gambar 1. Diagram proses desalinasi
2.4.2 Proses Desalinasi :
Ada beberapa proses dalam desalinasi, namun yang banyak digunakan untuk saat ini hanya ada dua, yaitu :
Ada beberapa proses dalam desalinasi, namun yang banyak digunakan untuk saat ini hanya ada dua, yaitu :
a)
Multistage Flash Distillation System
Sistem ini
merupakan pengembangan dari sistem distilasi biasa, yaitu air laut
dipanaskan untuk menguapkan air laut dan kemudian uap air yang dihasilkan
dikondensasi untuk memperoleh air tawar yang ditampung di tempat terpisah
sebagai hasil dari proses distilasi dan dikenal sebagai air distilasi, seperti
gambar berikut.
Gambar 2: proses distilasi
Pada sistem
distilasi bertingkat (Multistage Flash
Distillation System), air laut dipanaskan berulang-ulang pada setiap
tingkat distilasi dimana tekanan pada tingkat sebelumnya dibuat lebih rendah
dari tingkat berikutnya. Berikut contoh gambar sistem MSF yang disederhanakan
yang aktualnya dibangun sampai lebih dari sepuluh tingkat.
Gambar 3: gambar
sistem MSF
Evaporator
(penguap) dibagi dalam beberapa stage (tahap). Gambar di
atas memperlihatkan empat tahap evaporator.
Setiap tahap selanjutnya dibagi menjadi flash chamber yang merupakan ruangan yang terletak dibawah pemisah
kabut dan bagian kondensor yang terletak diatas pemisah kabut. Air laut
dialirkan dengan pompa ke dalam bagian kondensor melalui tabung penukar panas
dan hal ini menyebabkan terjadi pemanasan air laut oleh uap air yang terjadi
dalam setiap flash chamber. Kemudian air laut selanjutnya dipanaskan dalam
pemanas garam dan kemudian dialirkan ke dalam flash chamber tahap pertama.
Setiap tahap
dipertahankan dengan kondisi vakum tertentu dengan sistem vent ejector, dan beda tekanan antara tahap-tahap dipertahankan
dengan sistem vent orifices yang terdapat
pada vent penyambung pipa yang disambung di antara tahap-tahap.
Air laut yang telah panas mengalir dari tahap bertemperatur tinggi ke tahap
bertemperatur rendah melalui suatu bukaan kecil antara setiap tahap yang
disebut brine
orifice, sementara itu penguapan
tiba-tiba (flash evaporates)
terjadi dalam setiap chamber. Dan air laut pekat (berkadar garam tinggi) keluar
dari tahap terakhir dengan menggunakan pompa garam (brine pump).
Uap air yang
terjadi dalam flash
chamber pada setiap tahap mengalir
melalui pemisah kabut, dan mengeluarkan panas laten ke dalam tabung penukar
panas sementara air laut mengalir melalui bagian dalam dan kemudian uap berkondensasi.
Air yang terkondensasi dikumpulkan dalam penampung dan kemudian dipompa
keluar sebagai air tawar (Source: Kelompok
Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair, Pusat Pengkajian
dan Penerapan Teknologi Lingkungan, BPPT.
b)
Reverse Osmosis System
Pada sistem desalinasi dengan menggunakan membrane RO , air laut yang akan diolah diperlukan pengelolaan awal (pre treatment) sebelum diteruskan ke
bagian RO karena masih mengandung partikel padatan tersuspensi, mineral,
plankton dan lainnya. Berikut skema desalinasi yang memanfaatkan teknologi
Reverse Osmosis (RO).
Gambar 4: skema
desalinasi
Setelah
melalui tahap pre-treatment,
air laut disalurkan ke membran RO dengan pompa yang bertekanan tinggi sekitar
55 dan 85 bar, tergantung dari suhu dan kadar garamnya. Air yang keluar dari
membran RO ini berupa air tawar dan air yang berkadar garam tinggi (brine water). Air tawar
selanjutnya dialirkan ke tahapan post
treatment untuk diolah kembali agar sesuai dengan standar yang
diinginkan. Sedang brine water dibuang
melalui Energy Recovery Device. Aliran Brine Water ini masih memiliki
tekanan yang tinggi. Tekanan yang tinggi ini dimanfaatkan oleh Energy Recovery Device untuk
membantu pompa bertekanan tinggi sehingga tidak terlalu besar memakan daya
listrik. Karenanya desalinasi dengan teknologi RO ini dianggap yang paling
rendah konsumsi daya listriknya diantara sistem desalinasi lainnya.
Penjernihan
air laut untuk keperluan minimum di wilayah pantai berpenduduk padat dalam
skala kecil hanya sedikit sekali menimbulkan bahaya, desalinasi (pemurnian air
laut) dalam skala luas untuk keperluaan industri dan pertanian adalah masalah
lain. Satu hal, masalah lain yang bersifat sungguh-sungguh (serious) timbul
akibat keperluaan penggunaan energi secara besar-besaran dan akumulasi garam (odum,1993).
Clawson,
Landsberg dan Alexander, 1969
dalam odum,1993. Menunjukkan
bahwa biaya desalinasi, meskipun dengan menggunakan tenaga atom yang katanya
murah, memerlukan kelayakan yang sungguh-sungguh, lebih dari pada nilai air
dalam pertanian. Desalinasi untuk keperluan pertanian timur tengah misalnya,
tidak akan menolong, paling tidak sampai peledakan jumlah penduduk dan masalah
sosial lain teratasi. Nilai air yang didaur ulang masih dapat mengurangi
kebutuhan.
2.4.3 Modifikasi cuaca
(Waggoner, 1966; Sargent, 1967;
McDonald,1968 dalam odum,1993).mendesak
kehati-hatian yang sungguh-sungguh dalam menjalankan percobaan-percobaan
modifikasi cuaca untuk tujuan praktis apa pun pada saat ini; banyak sekali
analisis yang berorentasi ke penelitian dan percobaan-percobaan yang diperlukan
terlebih dahulu. Pada banyak kasus, hasil yang berlawanan dari apa yang
diharapkan telah didapat. Misalnya, meskipun penyemaian awan kadang-kadang
meningkatkan curah hujan, Lovasich dan kawan-kawannya melaporan bahwa pada
serangkaian percobaan, curah hujan pada musim panas menurun, bukannya bertambah.
agaknya, penyamaian telah menyebabkan mendung atau germis, dan hal ini telah
menghambat pembinaan energi pada siang hari yang diperlukan untuk manggerakkan
petir yang biasanya merupakan sumber utama untuk hujan musim panas.Manusia
telah mengubah cuaca secara kurang hati-hati baik dalam skala setempat maupun
menyeluruh, percobaan-percobaan mengenai modifikasi cuaca yang terawasi mungkin
paling dapat disetujui, sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan yang
diperlukan untuk menghindari akibat membahayakan dari modifikasi cuaca yang
sedang berjalan. Karena kini sebagian besar orang hidup di kota, perlu
diperhatikan bahwa kota tidak hanya menyebabkan polusi udara, tetapi juga
menyebabkan perubahan iklim. Menurut Lowry (1967), kota adalah ‘’perangkap panas’’,
karena penyerapan radiasi matahari oleh bidang-bidang vertikel dan panas yang
dihasilkan oleh mesin-mesin. Pada kawasan tengah garis lintang, temperatur
udara di kota-kota 1 sampai 3º F lebih tinggi dan kelembaban 6% lebih rendah
dari pada daerah pinggiran yang mengitarinnya. Karena polusi partikel, mendung
terjadi 10% lebih banyak, kabut 30
sampai 100% lebih sering (pada musim dingin lebih tinggi nilainya), hujan
10% lebih tinggi, sinar matahari
berkurang 15% dan radiasi ultraviolet
5-30% berkurang di kota-kota.
2.5 Penggunaan Lahan
2.5.1
Pengertian penggunaan lahan
Menurut Vink (1975), ”Lahan merupakan suatu
wilayah tertentu di atas permukaan bumi, khususnya meliputi semua benda
penyusun biosfer yang dapat dianggap bersifat menetap atau berpindah berada di
atas dan di bawah wilayah tersebut, meliputi atmosfer, tanah, batuan induk,
topografi, air, tumbuhan-tumbuhan, binatang, serta akibat-akibat kegiatan
manusia pada masa lalu maupun sekarang, yang semuanya memiliki pengaruh nyata
terhadap penggunaan lahan oleh manusia, pada masa sekarang maupun masa yang
akan datang”. Tata guna lahan (land use) adalah setiap bentuk
campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual.
Tata guna lahan secara umum tergantung pada kemampuan
lahan dan pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan
tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada
sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah,
lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah
terjadi. Tata guna lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk
daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi
(Suparmoko, 1995).
Sedangkan definisi Penggunaan Lahan menurut
Malingreau (1978), ”Pengunaan Lahan adalah segala macam campur tangan manusia,
baik secara menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumber daya alam dan buatan, yang secara keseluruhan
disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual,
ataupun kebutuhan kedua-duanya”. Mengenai definisi Transportasi adalah
perpindahan atau pergerakan orang, barang, informasi, untuk tujuan spesifik
dari area atau satu tempat ketempat lain.
2.5.2 klasifikasi penggunaan lahan
Klasifikasi penggunaan
di dasarkan pada bentuk ekologi alami, seperti tanah, lereng, dan komunitas
biotik alam. Delapan macam lahan seperti di tunjukkan pada gambar di tetapkan
secra hati-hati dan ditunjuk penggunaan yang dpat di dukungnya tanpa kehilangan
produktivitas. Jadi, jenis lahan I dan II terdiri dari atas wilayah dengan
tanah pertanian baik, yang dapat di tanami secara terus- menerus hanya dengan
tindakan pencegahan sederhana seperti jenis tanaman digilir dan tanaman
berjalur- jalur, sedangkan lahan III dan IV (dengan lereng yang lebih terjal)
perlu pembatasan- pembatasan yang lebih banyak jika ditanami, misalnya
penggosongan secara tertentu, tanaman menahun, atau padang rumput bergilir.
Jenis V dan VII tidak cocok untuk ditanami dan harus digunakan untuk padang
rumput tetap, pohon- pohonan, atau dibiarkan dalam keadaan alami (untuk
kehutanan dan tempat margasatwa yang dikembangkan secara alami, misalnya).
Jenis VIII (lereng terjal, lapisan tanah tipis) hanya produktif dalam keadaanya
alami, seperti habitat untuk binatang liar, binatang berbulu, hasil hutan, atau
untuk rekreasi pemandangan indah, perlindungan daerah aliran sungai, atau
penggunaan lain. Penggunaan yang terakhir ini sering kali lebih penting
daripada “tanaman” apa pun yang dapat dihasilkan oleh lahan (odum,1993).
Menurut Barlowe (1986)
faktor-faktor yang mempengaruhi Tata guna lahan adalah faktor fisik dan
biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan).
Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan
geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor
pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi.
Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan
sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.
2.6 Konservasi Sumber
Daya Alam (SDA)
2.6.1 Konservasi Sumber Daya Alam
Konservasi diartikan sebagai upaya pengelolaan
sumber daya alam secara bijaksana dengan berpedoman pada asas pelestarian.
Sumber daya alam adalah unsur-unsur hayati yang terdiri dari sumber daya alam
nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) dengan unsur non hayati
di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem (Kehati. 2000).
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Konservasi Sumber Daya Alam adalah
pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana
dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keragamannya(Departemen Pendidikan Nasional. 2005).
Berdasarkan peraturan perundang-undangan Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Pasal 1 ayat (2) disebutkan
bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya (Takdir Rahmadi, 2011).
2.6.2 Tujuan dan Manfaat Konservasi
Secara hukum tujuan konservasi tertuang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya yaitu bertujuan mengusahakan terwujudnya
kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga
dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. Selain tujuan yang tertera di atas tindakan konservasi
mengandung tujuan:
a) Preservasi
yang berarti proteksi atau perlindungan sumber daya alam terhadap eksploitasi
komersial, untuk memperpanjang pemanfaatannya bagi keperluan studi, rekreasi
dan tata guna air.
b) Pemulihan
atau restorasi, yaitu koreksi kesalahan-kesalahan masa lalu yang telah
membahayakan produktivitas pengkalan sumber daya alam.
c) Penggunaan
yang seefisien mungkin. Misal teknologi makanan harus memanfaatkan
sebaik-baiknya biji rambutan, biji mangga, biji salak dan lain-lainnya yang
sebetulnya berisi bahan organik yang dapat diolah menjadi bahan makanan.
d) Penggunaan
kembali (recycling) bahan
limbah buangan dari pabrik, rumah tangga, instalasi-instalasi air minum dan
lain-lainnya. Penanganan sampah secara modern masih ditunggu-tunggu.
e) Mencarikan
pengganti sumber alam yang sepadan bagi sumber yang telah menipis atau habis
sama sekali. Tenaga nuklir menggantikan minyak bumi.
f) Penentuan
lokasi yang paling tepat guna. Cara terbaik dalam pemilihan sumber daya alam
untuk dapat dimanfaatkan secara optimal, misalnya pembuatan waduk yang
serbaguna di Jatiluhur, Karangkates, Wonogiri, Sigura-gura.
g) Integrasi,
yang berarti bahwa dalam pengelolaan sumber daya diperpadukan berbagai
kepentingan sehingga tidak terjadi pemborosan, atau yang satu merugikan yang
lain. Misalnya, pemanfaatan mata air untuk suatu kota tidak harus mengorbankan
kepentingan pengairan untuk persawahan.
a) Sumber
daya alam flora fauna dan ekosistemnya memiliki fungsi dan manfaat serta
berperan penting sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya
tidak dapat digantikan. Tindakan tidak bertanggungjawab akan mengakibatkan
kerusakan, bahkan kepunahan flora fauna dan ekosistemnya. Kerusakan ini
menimbulkan kerugian besar yang tidak dapat dinilai dengan materi, sementara
itu pemulihannya tidak mungkin lagi (Dwidjoseputro 1994).
Pada dasarnya konservasi merupakan suatu
perlindungan terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Sesuatu yang mendapat
perlindungan maka dengan sendiri akan terwujud kelestarian. Manfaat-manfaat
konservasi diwujudkan dengan:
a) Terjaganya
kondisi alam dan lingkungannya, berarti upaya konservasi dilakukan dengan
memelihara agar kawasan konservasi tidak rusak.
b) Terhindarnya
bencana akibat perubahan alam, yang berarti gangguangangguan terhadap flora
fauna dan ekosistemnya pada khususnya serta sumber daya alam pada umumnya
menyebabkan perubahan berupa kerusakan maupun penurunan jumlah dan mutu sumber
daya alam tersebut.
c) Terhindarnya
makhluk hidup dari kepunahan, berarti jika gangguangangguan penyebab turunnya
jumlah dan mutu makhluk hidup terus dibiarkan tanpa upaya pengendalian akan
berakibat makhluk hidup tersebut menuju kepunahan bahkan punah sama sekali.
d) Mampu
mewujudkan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun makro, berarti dalam
ekosistem terdapat hubungan yang erat antara makhluk hidup maupun dengan
lingkungannya.
e) Mampu
memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, berarti upaya konservasi sebagai
sarana pengawetan dan pelestarian flora fauna merupakan penunjang budidaya,
sarana untuk mempelajari flora fauna yang sudah punah maupun belum punah dari
sifat, potensi maupun penggunaannya.
Mampu memberi kontribusi terhadap kepariwisataan,
berarti ciri-ciri dan obyeknya yang karakteristik merupakan kawasan ideal
sebagai saran rekreasi atau wisata alam (KEHATI,.2000).
2.6.3 Cara-cara Konservasi
Kekayaan flora fauna merupakan potensi yang dapat
dimanfaatkan sampai batas-batas tertentu yang tidak mengganggu kelestarian.
Penurunan jumlah dan mutu kehidupan flora fauna dikendalikan melalui kegiatan
konservasi secara insitu maupun
eksitu.
a) Konservasi
insitu (di dalam kawasan)
adalah konservasi flora fauna dan ekosistem yang dilakukan di dalam habitat
aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan
secara alami. Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan
ekosistem darat dan laut beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi insitu dilakukan dalam bentuk kawasan
suaka alam (cagar alam, suaka marga satwa), zona inti taman nasional dan hutan
lindung. Tujuan konservasi insitu untuk
menjaga keutuhan dan keaslian jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
secara alami melalui proses evolusinya. Perluasan kawasan sangat dibutuhkan
dalam upaya memlihara proses ekologi yang esensial, menunjang sistem penyangga
kehidupan, mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis
secara lestari dan berkelanjutan. Taman nasional
yang merupakan salah satu tempat dilakukannya pelestarian sumber daya hayati di
Indonesia antara lain: Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Kerinci
Sebat, Taman Nasional Tanjung Puting, Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional
Teluk Cendrawasih, dan Taman Nasional Bunaken.
Gambar 5: Taman Nasional Kerinci
Seblat sebagai salah satu bentuk konservasi In Situ (Foto: pompei-hotels.com)
Gambar 6: Tempat pelestarian in situ: (a) Taman
Nasional Ujung Kulon, (b) Taman Nasional Bunaken, (c) Taman Nasional Way Kambas
b) Konservasi
eksitu (di luar kawasan) adalah
upaya konservasi yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis
tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan cara pengumpualn jenis,
pemeliharaaan dan budidaya (penangkaran). Konservasi eksitu dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang,
kebun botani, taman hutan raya, kebun raya, penangkaran satwa, taman safari,
taman kota dan taman burung. Cara eksitu
merupakan suatu cara memanipulasi obyek yang dilestarikan untuk
dimanfaatkan dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami
kepunahan dan bersifat unik. Cara konservasi eksitu dianggap sulit dilaksankan dengan keberhasilan tinggi
disebabkan jenis yang dominan terhadap kehidupan alaminya sulit berdaptasi
dengan lingkungan buatan. Contoh tempat pelestarian
ex situ adalah kebun binatang. Di Indonesia, kebun binatang sebagai tempat
pelestarian hewan secara ex situ terdapat di beberapa lokasi, misalnya Kebun
Binatang Ragunan, di Jakarta; Taman Safari di Cisarua Jawa Barat; Kebun
Binatang Bandung; Kebun Binatang Gembira Loka di Yogyakarta; dan Kebun Binatang
Sumbawa. Pelestarian tumbuhan
secara ex situ berupa kebun koleksi dilakukan dengan mengumpulkan plasma nutfah
unggul semua varietas dari spesies tertentu sesuai tujuan pelestarian. Contoh
kebun koleksi adalah kebun koleksi kelapa di Bone-Bone. Pada kebun botani,
dikumpulkan berbagai jenis tumbuhan sehingga di lahan yang terbatas dapat
ditemukan ribuan jenis tumbuhan. Contoh kebun botani adalah Kebun Raya Bogor,
Kebun Raya Cibodas di Jawa Barat, dan Kebun Raya Purwodadi di Jawa Timur(SukaMade:
1997).
.
Gambar 7:
Kebun Raya Bogor sebagai salah satu bentuk Konservasi Ex Situ (Foto:
wisatakita.web.id)
Gambar 7: Kebun
binatang bandung sebagai salah satu bentuk Konservasi Ex Situ
DAFTAR PUSTAKA
Barlowe, R. 1986. Land Resource Economic. The Economic of Real Estate. Prentice-Hall,
Inc. New Jersey
Bani, Tony, www.academia.edu.
Cutter, Susan L; Renwick, William H, 2004. Exploitation,
Conservation, Preservation, A Geographic Perspective on Natural Resource Use. Fourth edition. John Wiley & Sons,
Inc.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka
Direktorat
Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil. 2013. Pedoman Teknis Pengelolaan Sarana dan Prasarana Air Bersih di
Pulau-pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dwidjoseputro.
1994. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya. Jakarta: Erlangga
Heinz Frick, Bambang Suskiyanto. 2006. Dasar-Dasar
Ekologi Arsitektur. Yogyakarta: Kanisius.
Kehati.
2000. Materi Kursus Inventarisasi flora dan fauna Taman Nasional Meru Betiri. Malang
Odum, P, Eugne,
1993. Dasar- dasar ekologi.
Yogyakarta: UGM press
SukaMade. 1997.Kumpulan
Materi MBSC IX Meru Betiri Service Camp
Suparmoko, M., 1995, Ek. Sumber Daya Alam & Lingkungan, Yogyakarta : Pusat Antar
Universitas Studi Ekonomi Universitas Gajah Mada.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan Di
Indonesia, Cetakan Ke-1. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Vink. 1975. Landuse Inadvancing Africulture Springer Verlag. New York
Helderberg
Malingreau. 1978. Penggunaan Lahan Pedesaan Penafsiran Citra Untuk Interprestasi dan
Analisisnya. Yogyakarta: Pusat Pendidikan Interprestasi Citra Pengindraan
Jauh dan Survey Terpadu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar