Translate

Rabu, 08 November 2017

Makalah Ekologi - Aplikasi Dan Teknologi Terhadap Sumber Daya Alam Dalam Ekosistem

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Sumber daya adalah sesuatu yang memiliki nilai guna. Sumberdaya alam adalah keseluruhan faktor fisik, kimia, biologi dan sosial yang membentuk lingkungan sekitar kita. Hunker (1964 dalam Cutter, dkk, 2004) menyatakan bahwa sumber daya alam adalah semua yang berasal dari bumi, biosfer, dan atmosfer, yang keberadaannya tergantung pada aktivitas manusia. Semua bagian lingkungan alam kita (biji-bijian, pepohonan, tanah, air, udara, matahari, sungai) adalah sumber daya alam. Bagaimana keberadaan sumberdaya alam tersebut sangat tergantung pada pilihan-pilihan bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh umat manusia. Biji, benih, pohon, air, udara, matahari, sungai, dikatakan sumberdaya ketika kita mengetahui nilai gunanya.
konservasi sumber daya alam adalah penggunaan sumberdaya alam untuk kebaikan secara optimal, dalam jumlah yang terbanyak dan untuk jangka waktu yang paling lama. Konservasi sumberdaya alam bukanlah memelihara persediaan secara permanen, tanpa pengurangan dan perusakan (tingkat penggunaan nol), namun diartikan sebagai pengurangan atau peniadaan penggunaan karena lebih mengutamakan bentuk penggunaan lain dalam hal sumberdaya alam itu memiliki penggunaan yang bermacam-macam.
Hutan merupakan salah satu sumberdaya yang bersifat dapat dipulihkan (renewable atau funding resource).  Oleh karena itu pengelolaannya harus berdasarkan pada prinsip-prinsip sustainable (sustainable – based principle) dari semua manfaat yang bisa diperoleh dari hutan sebagai sumberdaya sekaligus sebagai ekosistem.    
Konservasi diartikan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dengan berpedoman pada asas pelestarian. Sumber daya alam adalah unsur-unsur hayati yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem (Kehati, 2000).


1.2  Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan masalah di dalam makalah ini:

1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan makalah ini yaitu:
1.    Mengetahui apa itu sumber daya alam
2.    Mengetahui klasifikasi sumber daya alam
3.    Mengetahui Pertanian dan kehutanan
4.    Mengetahui Akuakultur
5.    Mengetahui Desalinasi dan perubahan cuaca
6.    Mengetahui Penggunaan lahan
7.    Mengetahui Konservasi SDA
8.    Mengetahui cara konservasi SDA


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sumber Daya Alam (SDA)
2.2 Pertanian Dan Kehutanan
2.2.1 Bidang Pertanian        
           Pertanian organik yang semakin berkembang belakangan ini menunjukkan adanya kesadaran petani dan berbagai pihak yang bergelut dalam sektor pertanian akan pentingnya kesehatan dan keberlanjutan lingkungan. Revolusi hijau dengan input bahan kimia memberi bukti bahwa lingkungan pertanian menjadi hancur dan tidak lestari. Pertanian organik kemudian dipercaya menjadi salah satu solusi alternatifnya.         Pengembangan pertanian organik secara teknis harus disesuaikan dengan prinsip dasar lokalitas. Artinya pengembangan pertanian organik harus disesuaikan dengan daya adaptasi tumbuh tanaman/binatang terhadap kondisi lahan, pengetahuan lokal teknis perawatannya, sumber daya pendukung, manfaat sosial tanaman/ binatang bagi komunitas.
Pertanian organik memandang alam secara menyeluruh, komponennya saling bergantung dan menghidupi, dan manusia adalah bagian di dalamnya. Prinsip ekologi dalam pertanian organik didasarkan pada hubungan antara organisme dengan alam sekitarnya dan antarorganisme itu sendiri secara seimbang. Pola hubungan antara organisme dan alamnya dipandang sebagai satu – kesatuan yang tidak terpisahkan, sekaligus sebagai pedoman atau hukum dasar dalam pengelolaan alam, termasuk pertanian.  
Dalam pelaksanaannya, sistem pertanian organik sangat memperhatikan kondisi lingkungan dengan mengembangkan metode budi daya dan pengolahan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sistem pertanian organik diterapkan berdasarkan atas interaksi tanah, tanaman, hewan, manusia, mikroorganisme, ekosistem, dan lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan dan keanekaragaman hayati. Sistem ini secara langsung diarahkan pada usaha meningkatkan proses daur ulang alami daripada usaha merusak ekosistem pertanian (agroekosistem).
Pertanian organik banyak memberikan kontribusi pada perlindungan lingkungan dan masa depan kehidupan manusia. Pertanian organik juga menjamin keberlanjutan bagi agroekosistem dan kehidupan petani sebagai pelaku pertanian. Sumber daya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga unsur hara, bimassa, dan energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran.       
Pemanfaatan bahan-bahan alami lokal di sekitar lokasi pertanian seperti limbah produk pertanian sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik seperti kompos sangat efektif mereduksi penggunaan pupuk kimia sintetis yang jelas-jelas tidak ramah lingkungan. Demikian juga dengan pemanfaatan bahan alami seperti tanaman obat yang ada untuk dibuat racun hama akan mengurangi penggunaan bahan pencemar bahaya yang diakibatkan pestisida, fungisida, dan insektisida kimia.       
Penggunaan mikroorganisme pada pembuatan pupuk organik, selain meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, juga akan mengurangi dampak pencemaran air tanah dan lingkungan yang timbul akibat pemakaian pupuk kimia berlebihan. Di samping itu, banyak mikroorganisme di alam yang memiliki kemampuan mereduksi dan mendegradasi bahan-bahan kimia berbahaya yang diakibatkan pencemaran dari bahan racun yang digunakan dalam aktivitas pertanian konvensional seperti racun serangga dan hama.
Dengan kemajuan teknologi, pertanian organik adalah pertanian ramah lingkungan yang murah dan berteknologi sederhana (tepat guna) dan dapat dijangkau semua petani di Indonesia. Serangga hama dan musuh alami merupakan bagian keanekaragaman hayati. Serangga hama memiliki kemampuan berbiak yang tinggi untuk mengimbangi tingkat kematian yang tinggi di alam. Keseimbangan alami antara serangga hama dan musuh alami sering dikacaukan penggunaan insektisida kimia yang hanya satu macam.
Pertanian organik bukan hanya baik bagi kesehatan, tetapi juga bagi lingkungan bumi. Beberapa ahli pertanian Amerika Serikat yakin pertanian organik merupakan cara baru mengurangi gas-gas rumah kaca yang menyumbang pemanasan global. Laurie Drinkwater, ahli manajemen tanah dan ekologi Rodale Institute di Kutztown, Pennsylvania, AS bersama koleganya membandingkan pertanian organik dengan metode sebelumnya yang menggunakan pupuk kimia selama 15 tahun. Hasilnya dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature (Desember 1998) jika pupuk organik digunakan dalam kawasan pertanian kedelai utama di AS, setiap tahun, karbon dioksida di atmosfer dapat berkurang 1-2%.
Drinkwater mengatakan, pengurangan ini merupakan kontribusi yang sangat berarti. Selain itu negara-negara industri sepakat dalam pertemuan Bumi di Kyoto Jepang untuk mengurangi emisi karbondioksida sampai 5,2% dari tahun 1990 hingga tahun 2008-2012. Dalam penelitian ini juga ditemukan, pertanian organik menggunakan energi 50% lebih kecil dibandingkan dengan metode pertanian konvensional.       
Demikianlah, fakta mengungkapkan bahwa sistem pertanian organik adalah pertanian yang ramah lingkungan. Artinya, pelaku sistem pertanian organik telah berusaha tidak merusak dan menganggu keberlanjutan komponen-komponen lingkungan yang terdiri atas tanah, air, udara, tanaman, binatang, mikroorganisme, dan tentunya manusia.      

2.2.2 Bidang Kehutanan        
         Hutan merupakan salah satu sumberdaya yang bersifat dapat dipulihkan (renewable atau funding resource).  Oleh karena itu pengelolaannya harus berdasarkan pada prinsip-prinsip sustainable (sustainable – based principle) dari semua manfaat yang bisa diperoleh dari hutan sebagai sumberdaya sekaligus sebagai ekosistem.    
Berhubung di alam ini antara ekosistem yang satu berinteraksi dengan ekosistem yang lain, maka konteks pengelolaan hutan harus berdasarkan pada anggapan bahwa hutan merupakan salah satu bagian integral dari ekosistem yang lebih besar dimana hutan tersebut berada, yaitu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satu kesatuan bentang darat.
Dalam rangka mencapai azas kelestarian (sustainable), laju ekstraksi sumbedaya hutan tidak boleh melebihi laju daya pemulihan dari ekosistem hutan tersebut.  Dalam konteks penebangan kayu, besar volume kayu yang ditebang tidak boleh melebihi riap volume tegakan hutan, sedangkan dalam konteks pemanfaatan secara umum, pemanfaatan hutan sebagai ekosistem tidak boleh melebihi daya dukung maksimum dari ekosistem tersebut.
Secara ideal, derajat pemanfaatan hutan harus diupayakan pada tingkat daya dukung optimalnya atau paling tinggi berada pada kisaran nilai antara daya dukung optimal dengan daya dukung maksimumnya.  Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan hutan tidak menimbulkan derajat gangguan lingkungan yang melebihi daya asimilatif dari ekosistem hutan tersebut.        
            Hutan dapat menghasilkan berbagai macam barang (kayu dan hasil hutan bukan kayu) dan jasa lingkungan (air, oksigen, keindahan alam, penyerap berbagai polutan, dan lain-lain), sehingga hutan bersifat multimanfaat.  Sehubungan dengan ini pengelolaan hutan seyogyanya tidak boleh memaksimumkan perolehan dari satu macam manfaat saja (misal kayu) dengan mengorbankan manfaat-manfaat lainnya, karena berbagai macam manfaat hutan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh.  Hutan dapat secara berkelanjutan memberikan manfaatnya bila proses ekologis internal dalam ekosistem hutan tersebut tidak terganggu atau terganggu tetapi tidak menimbulkan stress ekologis yang bersifat irreversible.  Oleh karenanya, ekosistem hutan harus dibuat tahan terhadap gangguan dengan cara mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan yang tetap tinggi.  Dengan demikian, pengelolaan hutan harus dilakukan secara tepat agar ragam dan derajat pemanfaatan hutan, yang tidak lain adalah berupa “tindakan gangguan” terhadap hutan, harus dilakukan sedemikian rupa agar tidak melampaui daya recovery dari ekosistem hutan yang bersangkutan sebagai respons terhadap gangguan tersebut (Heinz Frick, Bambang Suskiyanto.2006).
2.3 Akuakultur
2.4 Desalinasi Dan Perubahan Cuaca
2.4 1 Pengertian Desalinasi
Desalinasi merupakan teknologi penyulingan air laut untuk menghilangkan kadar garam berlebih pada air sehingga menghasilkan air tawar yang dapat dikonsumsi dengan hasil produksi tinggi tetapi menggunakan energi yang murah dan ramah lingkungan (Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil, 2013).
Menurut Bani, Tony dalam academia.edu, desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi kandungan garam terlarut dari air garam hingga level tertentu sehingga air dapat digunakan. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air garam (misalnya air laut), produk bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas tinggi. Produk proses desalinasi umumnya merupakan air dengan kandungan garam terlarut kurang dari 500 mg/l, yang dapat digunakan untuk keperluan domestik, industri, dan pertanian. Hasil sampingan dari proses desalinasi adalah brine, yaitu larutan garam berkonsentrasi tinggi (lebih dari 35.000mg/l garam terlarut).
Gambar 1. Diagram proses desalinasi
2.4.2 Proses Desalinasi :
          Ada beberapa proses dalam desalinasi, namun yang banyak digunakan untuk saat ini hanya ada dua, yaitu :


a)      Multistage Flash Distillation System
Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem distilasi biasa, yaitu air laut dipanaskan untuk menguapkan air laut dan kemudian uap air yang dihasilkan dikondensasi untuk memperoleh air tawar yang ditampung di tempat terpisah sebagai hasil dari proses distilasi dan dikenal sebagai air distilasi, seperti gambar berikut.
Gambar 2: proses distilasi

Pada sistem distilasi bertingkat (Multistage Flash Distillation System), air laut dipanaskan berulang-ulang pada setiap tingkat distilasi dimana tekanan pada tingkat sebelumnya dibuat lebih rendah dari tingkat berikutnya. Berikut contoh gambar sistem MSF yang disederhanakan yang aktualnya dibangun sampai lebih dari sepuluh tingkat.
Gambar 3: gambar sistem MSF

Evaporator (penguap) dibagi dalam beberapa stage (tahap). Gambar di atas memperlihatkan empat tahap evaporator. Setiap tahap selanjutnya dibagi menjadi flash chamber yang merupakan ruangan yang terletak dibawah pemisah kabut dan bagian kondensor yang terletak diatas pemisah kabut. Air laut dialirkan dengan pompa ke dalam bagian kondensor melalui tabung penukar panas dan hal ini menyebabkan terjadi pemanasan air laut oleh uap air yang terjadi dalam setiap flash chamber. Kemudian air laut selanjutnya dipanaskan dalam pemanas garam dan kemudian dialirkan ke dalam flash chamber tahap pertama.
Setiap tahap dipertahankan dengan kondisi vakum tertentu dengan sistem vent ejector, dan beda tekanan antara tahap-tahap dipertahankan dengan sistem vent orifices yang terdapat pada vent penyambung pipa yang disambung di antara tahap-tahap. Air laut yang telah panas mengalir dari tahap bertemperatur tinggi ke tahap bertemperatur rendah melalui suatu bukaan kecil antara setiap tahap yang disebut brine orifice, sementara itu penguapan tiba-tiba (flash evaporates) terjadi dalam setiap chamber. Dan air laut pekat (berkadar garam tinggi) keluar dari tahap terakhir dengan menggunakan pompa garam (brine pump).
Uap air yang terjadi dalam flash chamber pada setiap tahap mengalir melalui pemisah kabut, dan mengeluarkan panas laten ke dalam tabung penukar panas sementara air laut mengalir melalui bagian dalam dan kemudian uap berkondensasi. Air yang terkondensasi dikumpulkan dalam penampung dan kemudian dipompa keluar sebagai air tawar (Source: Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan, BPPT.
b)       Reverse Osmosis System
Pada sistem desalinasi dengan menggunakan membrane RO , air laut yang akan diolah diperlukan pengelolaan awal (pre treatment) sebelum diteruskan ke bagian RO karena masih mengandung partikel padatan tersuspensi, mineral, plankton dan lainnya. Berikut skema desalinasi yang memanfaatkan teknologi Reverse Osmosis (RO).

Gambar 4: skema desalinasi
Setelah melalui tahap pre-treatment, air laut disalurkan ke membran RO dengan pompa yang bertekanan tinggi sekitar 55 dan 85 bar, tergantung dari suhu dan kadar garamnya. Air yang keluar dari membran RO ini berupa air tawar dan air yang berkadar garam tinggi (brine water). Air tawar selanjutnya dialirkan ke tahapan post treatment untuk diolah kembali agar sesuai dengan standar yang diinginkan. Sedang brine water dibuang melalui Energy Recovery Device. Aliran Brine Water ini masih memiliki tekanan yang tinggi. Tekanan yang tinggi ini dimanfaatkan oleh Energy Recovery Device untuk membantu pompa bertekanan tinggi sehingga tidak terlalu besar memakan daya listrik. Karenanya desalinasi dengan teknologi RO ini dianggap yang paling rendah konsumsi daya listriknya diantara sistem desalinasi lainnya.
Penjernihan air laut untuk keperluan minimum di wilayah pantai berpenduduk padat dalam skala kecil hanya sedikit sekali menimbulkan bahaya, desalinasi (pemurnian air laut) dalam skala luas untuk keperluaan industri dan pertanian adalah masalah lain. Satu hal, masalah lain yang bersifat sungguh-sungguh (serious) timbul akibat keperluaan penggunaan energi secara besar-besaran dan akumulasi garam (odum,1993).
Clawson, Landsberg dan Alexander, 1969 dalam odum,1993. Menunjukkan bahwa biaya desalinasi, meskipun dengan menggunakan tenaga atom yang katanya murah, memerlukan kelayakan yang sungguh-sungguh, lebih dari pada nilai air dalam pertanian. Desalinasi untuk keperluan pertanian timur tengah misalnya, tidak akan menolong, paling tidak sampai peledakan jumlah penduduk dan masalah sosial lain teratasi. Nilai air yang didaur ulang masih dapat mengurangi kebutuhan.

2.4.3 Modifikasi cuaca
(Waggoner, 1966; Sargent, 1967; McDonald,1968 dalam odum,1993).mendesak kehati-hatian yang sungguh-sungguh dalam menjalankan percobaan-percobaan modifikasi cuaca untuk tujuan praktis apa pun pada saat ini; banyak sekali analisis yang berorentasi ke penelitian dan percobaan-percobaan yang diperlukan terlebih dahulu. Pada banyak kasus, hasil yang berlawanan dari apa yang diharapkan telah didapat. Misalnya, meskipun penyemaian awan kadang-kadang meningkatkan curah hujan, Lovasich dan kawan-kawannya melaporan bahwa pada serangkaian percobaan, curah hujan pada musim panas menurun, bukannya bertambah. agaknya, penyamaian telah menyebabkan mendung atau germis, dan hal ini telah menghambat pembinaan energi pada siang hari yang diperlukan untuk manggerakkan petir yang biasanya merupakan sumber utama untuk hujan musim panas.Manusia telah mengubah cuaca secara kurang hati-hati baik dalam skala setempat maupun menyeluruh, percobaan-percobaan mengenai modifikasi cuaca yang terawasi mungkin paling dapat disetujui, sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk menghindari akibat membahayakan dari modifikasi cuaca yang sedang berjalan. Karena kini sebagian besar orang hidup di kota, perlu diperhatikan bahwa kota tidak hanya menyebabkan polusi udara, tetapi juga menyebabkan perubahan iklim. Menurut Lowry (1967), kota adalah ‘’perangkap panas’’, karena penyerapan radiasi matahari oleh bidang-bidang vertikel dan panas yang dihasilkan oleh mesin-mesin. Pada kawasan tengah garis lintang, temperatur udara di kota-kota 1 sampai 3º F lebih tinggi dan kelembaban 6% lebih rendah dari pada daerah pinggiran yang mengitarinnya. Karena polusi partikel, mendung terjadi 10%  lebih banyak, kabut 30 sampai 100% lebih sering (pada musim dingin lebih tinggi nilainya), hujan 10%  lebih tinggi, sinar matahari berkurang 15%  dan radiasi ultraviolet 5-30%  berkurang di kota-kota.
2.5 Penggunaan Lahan
2.5.1 Pengertian penggunaan lahan
Menurut Vink (1975), ”Lahan merupakan suatu wilayah tertentu di atas permukaan bumi, khususnya meliputi semua benda penyusun biosfer yang dapat dianggap bersifat menetap atau berpindah berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, meliputi atmosfer, tanah, batuan induk, topografi, air, tumbuhan-tumbuhan, binatang, serta akibat-akibat kegiatan manusia pada masa lalu maupun sekarang, yang semuanya memiliki pengaruh nyata terhadap penggunaan lahan oleh manusia, pada masa sekarang maupun masa yang akan datang”.  Tata guna lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual.
Tata guna lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. Tata guna lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi (Suparmoko, 1995).
Sedangkan definisi Penggunaan Lahan menurut Malingreau (1978), ”Pengunaan Lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumber daya alam dan buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kebutuhan kedua-duanya”. Mengenai definisi Transportasi adalah perpindahan atau pergerakan orang, barang, informasi, untuk tujuan spesifik dari area atau satu tempat ketempat lain.
2.5.2 klasifikasi penggunaan lahan
Klasifikasi penggunaan di dasarkan pada bentuk ekologi alami, seperti tanah, lereng, dan komunitas biotik alam. Delapan macam lahan seperti di tunjukkan pada gambar di tetapkan secra hati-hati dan ditunjuk penggunaan yang dpat di dukungnya tanpa kehilangan produktivitas. Jadi, jenis lahan I dan II terdiri dari atas wilayah dengan tanah pertanian baik, yang dapat di tanami secara terus- menerus hanya dengan tindakan pencegahan sederhana seperti jenis tanaman digilir dan tanaman berjalur- jalur, sedangkan lahan III dan IV (dengan lereng yang lebih terjal) perlu pembatasan- pembatasan yang lebih banyak jika ditanami, misalnya penggosongan secara tertentu, tanaman menahun, atau padang rumput bergilir. Jenis V dan VII tidak cocok untuk ditanami dan harus digunakan untuk padang rumput tetap, pohon- pohonan, atau dibiarkan dalam keadaan alami (untuk kehutanan dan tempat margasatwa yang dikembangkan secara alami, misalnya). Jenis VIII (lereng terjal, lapisan tanah tipis) hanya produktif dalam keadaanya alami, seperti habitat untuk binatang liar, binatang berbulu, hasil hutan, atau untuk rekreasi pemandangan indah, perlindungan daerah aliran sungai, atau penggunaan lain. Penggunaan yang terakhir ini sering kali lebih penting daripada “tanaman” apa pun yang dapat dihasilkan oleh lahan (odum,1993).
Menurut Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi Tata guna lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.

2.6 Konservasi Sumber Daya Alam (SDA)
2.6.1 Konservasi Sumber Daya Alam
Konservasi diartikan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dengan berpedoman pada asas pelestarian. Sumber daya alam adalah unsur-unsur hayati yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem (Kehati. 2000).
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Konservasi Sumber Daya Alam adalah pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya(Departemen Pendidikan Nasional. 2005).
Berdasarkan peraturan perundang-undangan Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Takdir Rahmadi, 2011).

2.6.2 Tujuan dan Manfaat Konservasi
Secara hukum tujuan konservasi tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yaitu bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Selain tujuan yang tertera di atas tindakan konservasi mengandung tujuan:
a)      Preservasi yang berarti proteksi atau perlindungan sumber daya alam terhadap eksploitasi komersial, untuk memperpanjang pemanfaatannya bagi keperluan studi, rekreasi dan tata guna air.
b)      Pemulihan atau restorasi, yaitu koreksi kesalahan-kesalahan masa lalu yang telah membahayakan produktivitas pengkalan sumber daya alam.
c)      Penggunaan yang seefisien mungkin. Misal teknologi makanan harus memanfaatkan sebaik-baiknya biji rambutan, biji mangga, biji salak dan lain-lainnya yang sebetulnya berisi bahan organik yang dapat diolah menjadi bahan makanan.
d)     Penggunaan kembali (recycling) bahan limbah buangan dari pabrik, rumah tangga, instalasi-instalasi air minum dan lain-lainnya. Penanganan sampah secara modern masih ditunggu-tunggu.
e)      Mencarikan pengganti sumber alam yang sepadan bagi sumber yang telah menipis atau habis sama sekali. Tenaga nuklir menggantikan minyak bumi.
f)       Penentuan lokasi yang paling tepat guna. Cara terbaik dalam pemilihan sumber daya alam untuk dapat dimanfaatkan secara optimal, misalnya pembuatan waduk yang serbaguna di Jatiluhur, Karangkates, Wonogiri, Sigura-gura.
g)      Integrasi, yang berarti bahwa dalam pengelolaan sumber daya diperpadukan berbagai kepentingan sehingga tidak terjadi pemborosan, atau yang satu merugikan yang lain. Misalnya, pemanfaatan mata air untuk suatu kota tidak harus mengorbankan kepentingan pengairan untuk persawahan.
a)      Sumber daya alam flora fauna dan ekosistemnya memiliki fungsi dan manfaat serta berperan penting sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat digantikan. Tindakan tidak bertanggungjawab akan mengakibatkan kerusakan, bahkan kepunahan flora fauna dan ekosistemnya. Kerusakan ini menimbulkan kerugian besar yang tidak dapat dinilai dengan materi, sementara itu pemulihannya tidak mungkin lagi (Dwidjoseputro 1994).
Pada dasarnya konservasi merupakan suatu perlindungan terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Sesuatu yang mendapat perlindungan maka dengan sendiri akan terwujud kelestarian. Manfaat-manfaat konservasi diwujudkan dengan:
a)      Terjaganya kondisi alam dan lingkungannya, berarti upaya konservasi dilakukan dengan memelihara agar kawasan konservasi tidak rusak.
b)      Terhindarnya bencana akibat perubahan alam, yang berarti gangguangangguan terhadap flora fauna dan ekosistemnya pada khususnya serta sumber daya alam pada umumnya menyebabkan perubahan berupa kerusakan maupun penurunan jumlah dan mutu sumber daya alam tersebut.
c)      Terhindarnya makhluk hidup dari kepunahan, berarti jika gangguangangguan penyebab turunnya jumlah dan mutu makhluk hidup terus dibiarkan tanpa upaya pengendalian akan berakibat makhluk hidup tersebut menuju kepunahan bahkan punah sama sekali.
d)     Mampu mewujudkan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun makro, berarti dalam ekosistem terdapat hubungan yang erat antara makhluk hidup maupun dengan lingkungannya.
e)      Mampu memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, berarti upaya konservasi sebagai sarana pengawetan dan pelestarian flora fauna merupakan penunjang budidaya, sarana untuk mempelajari flora fauna yang sudah punah maupun belum punah dari sifat, potensi maupun penggunaannya.
Mampu memberi kontribusi terhadap kepariwisataan, berarti ciri-ciri dan obyeknya yang karakteristik merupakan kawasan ideal sebagai saran rekreasi atau wisata alam (KEHATI,.2000).

2.6.3 Cara-cara Konservasi
Kekayaan flora fauna merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sampai batas-batas tertentu yang tidak mengganggu kelestarian. Penurunan jumlah dan mutu kehidupan flora fauna dikendalikan melalui kegiatan konservasi secara insitu maupun eksitu.
a)      Konservasi insitu (di dalam kawasan) adalah konservasi flora fauna dan ekosistem yang dilakukan di dalam habitat aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami. Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi insitu dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar alam, suaka marga satwa), zona inti taman nasional dan hutan lindung. Tujuan konservasi insitu untuk menjaga keutuhan dan keaslian jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya secara alami melalui proses evolusinya. Perluasan kawasan sangat dibutuhkan dalam upaya memlihara proses ekologi yang esensial, menunjang sistem penyangga kehidupan, mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis secara lestari dan berkelanjutan. Taman nasional yang merupakan salah satu tempat dilakukannya pelestarian sumber daya hayati di Indonesia antara lain: Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Kerinci Sebat, Taman Nasional Tanjung Puting, Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Teluk Cendrawasih, dan Taman Nasional Bunaken.
Gambar 5: Taman Nasional Kerinci Seblat sebagai salah satu bentuk konservasi In Situ (Foto: pompei-hotels.com)
Gambar 6: Tempat pelestarian in situ:  (a) Taman Nasional Ujung Kulon, (b) Taman Nasional Bunaken, (c) Taman Nasional Way Kambas

b)      Konservasi eksitu (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan cara pengumpualn jenis, pemeliharaaan dan budidaya (penangkaran). Konservasi eksitu dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun botani, taman hutan raya, kebun raya, penangkaran satwa, taman safari, taman kota dan taman burung. Cara eksitu merupakan suatu cara memanipulasi obyek yang dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik. Cara konservasi eksitu dianggap sulit dilaksankan dengan keberhasilan tinggi disebabkan jenis yang dominan terhadap kehidupan alaminya sulit berdaptasi dengan lingkungan buatan. Contoh tempat pelestarian ex situ adalah kebun binatang. Di Indonesia, kebun binatang sebagai tempat pelestarian hewan secara ex situ terdapat di beberapa lokasi, misalnya Kebun Binatang Ragunan, di Jakarta; Taman Safari di Cisarua Jawa Barat; Kebun Binatang Bandung; Kebun Binatang Gembira Loka di Yogyakarta; dan Kebun Binatang Sumbawa. Pelestarian tumbuhan secara ex situ berupa kebun koleksi dilakukan dengan mengumpulkan plasma nutfah unggul semua varietas dari spesies tertentu sesuai tujuan pelestarian. Contoh kebun koleksi adalah kebun koleksi kelapa di Bone-Bone. Pada kebun botani, dikumpulkan berbagai jenis tumbuhan sehingga di lahan yang terbatas dapat ditemukan ribuan jenis tumbuhan. Contoh kebun botani adalah Kebun Raya Bogor, Kebun Raya Cibodas di Jawa Barat, dan Kebun Raya Purwodadi di Jawa Timur(SukaMade: 1997).
.
Gambar 7: Kebun Raya Bogor sebagai salah satu bentuk Konservasi Ex Situ (Foto: wisatakita.web.id)
Gambar 7: Kebun binatang bandung sebagai salah satu bentuk Konservasi Ex Situ



DAFTAR PUSTAKA

Barlowe, R. 1986. Land Resource Economic. The Economic of Real Estate. Prentice-Hall, Inc. New Jersey
Bani, Tony, www.academia.edu.
Cutter, Susan L; Renwick, William H, 2004. Exploitation, Conservation, Preservation, A Geographic Perspective on Natural Resource Use. Fourth edition. John Wiley & Sons, Inc.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka
Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil.  2013. Pedoman Teknis Pengelolaan         Sarana dan Prasarana Air Bersih di Pulau-pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dwidjoseputro. 1994. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya. Jakarta: Erlangga
Heinz Frick, Bambang Suskiyanto. 2006. Dasar-Dasar Ekologi Arsitektur. Yogyakarta: Kanisius.
Kehati. 2000. Materi Kursus Inventarisasi flora dan fauna Taman Nasional Meru Betiri. Malang
Odum, P, Eugne, 1993. Dasar- dasar ekologi. Yogyakarta: UGM press
SukaMade. 1997.Kumpulan Materi MBSC IX Meru Betiri Service Camp
Suparmoko, M., 1995, Ek. Sumber Daya Alam & Lingkungan, Yogyakarta : Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi Universitas Gajah Mada.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Cetakan Ke-1. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Vink. 1975. Landuse Inadvancing Africulture Springer Verlag. New York Helderberg
Malingreau. 1978. Penggunaan Lahan Pedesaan Penafsiran Citra Untuk Interprestasi dan Analisisnya. Yogyakarta: Pusat Pendidikan Interprestasi Citra Pengindraan Jauh dan Survey Terpadu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hubungan Pancasila dan Agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Pancasila merupakan dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Panca...